
ZAKAT FITRAH DENGAN UANG

Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang masih hidup hingga akhir bulan Ramadan dan memiliki kelebihan dari kebutuhan dasarnya. Zakat ini berfungsi untuk menyucikan jiwa orang yang berpuasa dari kesalahan serta kekurangan selama Ramadan, sekaligus sebagai wujud kepedulian sosial dengan membantu fakir miskin.
Secara tradisional, zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok seperti kurma, gandum, atau beras, sebagaimana yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Namun, seiring perkembangan zaman, muncul perbedaan pendapat mengenai kebolehan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. Pandangan ini bervariasi di antara empat mazhab utama dalam Islam: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Pendapat Empat Mazhab
Imam Abu Hanifah membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang tunai. Menurut mazhab ini, tujuan utama zakat fitrah adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada mustahik, sehingga bentuk pembayaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Mazhab Hanafi mendasarkan pendapatnya pada prinsip istihsan (pertimbangan maslahat yang lebih besar), di mana uang dianggap lebih fleksibel dan memudahkan penerima dalam memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, mereka merujuk pada hadis dalam riwayat Imam Bukhari yang menyebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, ia memperbolehkan pembayaran zakat dengan barang yang berbeda dari yang disebutkan dalam hadis lain, menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Berdasarkan hal ini, Mazhab Hanafi menyimpulkan bahwa zakat fitrah dapat dibayarkan dengan uang jika hal tersebut lebih bermanfaat bagi mustahik.
Hadis yang berkaitan dengan kebolehan mengganti zakat dengan barang lain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, sebagai berikut:
وَقَالَ طَاوُسٌ : قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ اليَمَنِ : ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ - أَوْ لَبِيسٍ - فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ فَلَمْ يَسْتَثْنِ صَدَقَةَ الفَرْضِ مِنْ غَيْرِهَا ، فَجَعَلَتِ المَرْأَةُ تُلْقِي خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا ، وَلَمْ يَخُصَّ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ مِنَ العُرُوضِ
“Thawus berkata: Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata kepada penduduk Yaman, ‘Berikanlah kepadaku pakaian—baik yang bermotif atau yang polos—sebagai zakat, menggantikan gandum dan jagung. Itu lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat Nabi ﷺ di Madinah.’ Nabi ﷺ juga bersabda, ‘Adapun Khalid, ia telah menahan baju besi dan perlengkapannya di jalan Allah.’ Nabi ﷺ juga bersabda, ‘Bersedekahlah kalian, meskipun dari perhiasan kalian.’ Beliau tidak membedakan antara sedekah wajib (zakat) dan sedekah sunah. Maka para wanita pun mulai melepaskan anting-anting dan kalung mereka untuk bersedekah. Nabi ﷺ juga tidak membatasi zakat hanya pada emas dan perak dari barang dagangan.”
Hadis-hadis dalam pembahasan ini menunjukkan bahwa zakat tidak hanya terbatas pada emas dan perak, tetapi juga dapat dibayarkan dalam bentuk barang dagangan yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini terlihat dari kebijakan Mu’adz bin Jabal yang mengizinkan penduduk Yaman membayar zakat dengan pakaian sebagai pengganti gandum dan jagung, demi kemudahan mereka serta manfaat yang lebih besar bagi penerima zakat.
Selain itu, hadis tentang Khalid bin Walid serta anjuran Nabi ﷺ kepada para wanita untuk bersedekah dengan perhiasan mereka juga menunjukkan adanya fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat. Prinsip utama dalam zakat adalah memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi mustahik tanpa memberatkan muzaki. Berdasarkan hal ini, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa zakat fitrah dapat dibayarkan dengan uang jika hal tersebut lebih bermanfaat bagi penerima, karena tujuan utama zakat adalah memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang paling efektif.
Imam Malik berpendapat bahwa pembayaran zakat fitrah harus dilakukan dalam bentuk makanan pokok yang umum dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
عَن ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: "فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ". رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ.
“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan sebanyak satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar.” (Diriwayatkan oleh Al-Jama’ah: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Mazhab Maliki menekankan pentingnya mengikuti ketetapan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Oleh karena itu, mereka tidak membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, karena sunnah secara eksplisit menyebutkan bahwa zakat fitrah harus dibayarkan dalam bentuk makanan pokok.
Pandangan serupa juga dianut oleh Mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i menegaskan bahwa zakat fitrah wajib dibayarkan dalam bentuk makanan pokok dan tidak boleh diganti dengan uang. Hal ini didasarkan pada dalil yang sama dengan Mazhab Maliki serta prinsip bahwa dalam ibadah, hukum asalnya adalah mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam nash. Dalam Kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa membayar zakat fitrah dengan uang tidak sah, karena bertentangan dengan hadis-hadis sahih. Selain itu, pembayaran dalam bentuk makanan lebih menjamin kebutuhan mustahik terpenuhi pada hari raya.
Mazhab Hanbali juga berpendapat bahwa zakat fitrah harus diberikan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah setempat. Imam Ahmad bin Hanbal merujuk pada dalil yang sama dengan Mazhab Maliki dan Syafi’i, yaitu hadis-hadis yang menyebutkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. Mereka juga berargumen bahwa tidak ada dalil yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang, sehingga mereka memilih untuk tetap berpegang pada sunnah Rasulullah SAW.
Dari keempat mazhab utama, hanya Mazhab Hanafi yang memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang, sementara Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mewajibkan pembayaran dalam bentuk makanan pokok. Perbedaan ini muncul karena pendekatan yang berbeda dalam menetapkan hukum. Mazhab Hanafi cenderung lebih fleksibel dengan mempertimbangkan maslahat, sehingga membolehkan pembayaran dalam bentuk uang jika lebih bermanfaat bagi mustahik. Sebaliknya, Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali lebih tekstualis dalam memahami hadis dan menekankan pentingnya mengikuti sunnah Rasulullah SAW secara langsung.
Konteks Hukum Modern
Dalam realitas modern, pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang tunai telah menjadi praktik umum di banyak negara Islam, termasuk Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi, kebolehan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang semakin banyak dipertimbangkan oleh para ulama dan lembaga fatwa.
Salah satu alasan utama yang mendukung kebolehan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang adalah kemudahan dalam distribusi. Uang tunai lebih praktis untuk disalurkan kepada mustahik, terutama di daerah perkotaan, di mana membeli dan menyalurkan makanan pokok bisa menjadi kendala logistik. Selain itu, pembayaran dalam bentuk uang juga memberikan fleksibilitas bagi mustahik, karena mereka dapat menggunakannya untuk kebutuhan mendesak selain makanan, seperti obat-obatan atau kebutuhan rumah tangga lainnya.
Sejumlah lembaga fatwa, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dar al-Ifta’ Mesir, telah membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan mustahik. Dalam perspektif Maqashid Syariah (tujuan syariah), zakat fitrah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penerima. Jika pembayaran dalam bentuk uang lebih efektif dalam mencapai tujuan tersebut, maka penggunaannya dapat dibenarkan.
Perbedaan pendapat mengenai bentuk pembayaran zakat fitrah menunjukkan adanya ruang ijtihad dalam aspek ibadah sosial. Mazhab Hanafi memperbolehkan pembayaran dalam bentuk uang berdasarkan prinsip maslahat, sementara Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tetap berpegang teguh pada teks hadis yang secara eksplisit menyebutkan makanan pokok sebagai bentuk pembayaran zakat fitrah.
Dalam praktiknya, pembayaran zakat fitrah dengan uang tunai semakin diterima secara luas, terutama karena sistem distribusi zakat yang semakin efisien. Oleh karena itu, pemilihan antara membayar zakat fitrah dalam bentuk makanan atau uang tunai dapat disesuaikan dengan kebutuhan mustahik serta kondisi sosial ekonomi setempat, selama tetap berada dalam koridor syariat Islam dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Yuk tunaikan zakat Anda melalui Lembaga ZISWAF CT ARSA !!